Menanam benih, memupuk, menyirami, melihat tunasnya mulai muncul,
lalu batangnya bertambah tinggi senti demi senti. Kita tersenyum,
bahagia, dada kita seperti hendak meledak sebab harap yang membuncah,
membayangkan suatu hari, apa yang kita tanam ini akan tumbuh subur,
menjelma pohon rindang tempat kita berteduh dari panas, dan berlindung
dari rintik hujan.
Namun kuasa bukan milik kita. Ada campur tangan semesta yang ikut
menentukan nasib tumbuhnya pohon kita. Maka kita mulai cemas,
menyaksikan bahwa di tengah perjalanan, daun-daun yang kita harap tumbuh
subur, justru berubah layu, ujungnya menguning. Kita saling tatap,
melakukan segala cara yang kita bisa agar mencegah pohon kita dari layu.
Tapi kuningnya malah makin menjalar, dari dua, menjadi tiga, empat, dan
begitu terus.
Kita mulai menahan air mata yg menggantung di sudut mata, merapal
doa, terus-terusan mencegah layunya pohon kita. Namun makin keras kita
berusaha, semakin banyak daun yang layu. Kita kemudian tertegun,
menyadari ada rencana yang tak sejalan dengan rencana kita. Tak ingin
begitu saja menyerah, tapi tak lagi punya cara.
Maka kita sekali lagi saling tatap. Namun tak ada yang beranjak dari
sana. Menyaksikan pohon kita menguning, lalu beberapa daunnya gugur satu
demi satu. Hanya menangis. Tak punya kuasa, tapi juga tak bisa rela.
Pisah memang hal yang paling sulit diucap, walaupun mungkin menjadi
jalan satu-satunya. Maka kita di sini saja, entah untuk apa. Mungkin
aku, atau diam-diam kamu juga, berharap daun yang kuning kembali berubah
hijau. Atau yang terlanjur jatuh, kembali terbang, menempel di
pucuk-pucuk ranting.
Mungkinkah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar